Rumah M.Mansyur dari 2011-2020 (saat ini masih di diami ibu sampai sekarang) |
Tahun 2018 menjadi momen penentu dalam hidup saya. Di saat banyak orang berlomba mengejar mimpi, saya justru menerima amanat mulia sebagai pendamping PKH, mengabdikan diri untuk membantu keluarga prasejahtera. Ironisnya, saya melangkah ke dunia ini bukan sebagai orang asing, melainkan sebagai bekas penerima bansos, alumni keluarga miskin yang bertekad memutus rantai kemiskinan.
Masa kecil saya terukir pilu. Di usia belia, saya harus menerima kenyataan pahit kepergian ayah tercinta. Meninggalkan ibu dan delapan saudara saya dalam himpitan kesulitan. Tak ada warisan kecuali hutang yang menggunung, memaksa kami menjual tanah dan rumah demi melunasi tanggungan.
Kehidupan baru menanti di sebuah kebun milik saudagar kaya. Kami mendirikan gubuk reyot berdinding ubin dan beratap alang-alang, menjadi tempat berlindung dari terik matahari dan dinginnya malam. Jarak tempuh ke sekolah saya memakan waktu satu jam berjalan kaki, rintangan yang harus saya lalui setiap hari.
Tekad membara dalam diri saya untuk mengubah nasib. Pagi buta, saya mengantar ibu berjualan sayur ke pasar sebelum melangkah ke sekolah. Rutinitas melelahkan ini tak pernah saya lewatkan, mengantarkan saya hingga bangku SMK.
Lulus SMK, saya tak ingin terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Saya beranikan diri merantau ke kota, bekerja sebagai penjahit di butik kecil. Di sanalah secercah harapan datang. Saya mendapat beasiswa kuliah di IAIN Raden Intan Lampung, membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
Kuliah tak mudah, beasiswa hanya meringankan biaya pendidikan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya tetap bekerja sebagai penjahit dan berjualan baju di sela-sela jam kuliah. Rintangan demi rintangan saya lalui, tekad saya tak pernah padam. Akhirnya, saya berhasil meraih gelar sarjana.
Beberapa pekerjaan telah saya jalani, hingga akhirnya takdir membawa saya kembali ke kampung halaman, mengabdi sebagai pendamping PKH. Ironisnya, rumah saya saat ini jauh lebih sederhana dibandingkan rumah keluarga penerima manfaat yang saya dampingi.
Alasannya tak rumit. Kakak dan ibu saya pindah dari kebun setelah saya lulus kuliah, menyicil sebidang tanah dan membangun rumah sederhana. Namun, penghasilan pendamping PKH tak cukup untuk merenovasi rumah tersebut.
Hingga saat ini, ibu saya masih memilih tinggal di rumah tua itu. Baginya, itu adalah simbol kebebasan setelah 15 tahun terikat di kebun milik orang lain. Dia ingin mensyukuri setiap detik di sana, meski sederhana.
Saya sadar, masih banyak yang harus diperjuangkan. Saya berdoa, semoga seiring waktu dan kerja keras, saya mampu merenovasi rumah ibu dan memberinya kehidupan yang lebih layak. Impian ini tak hanya untuk ibu saya, tapi juga untuk memutus rantai kemiskinan yang membelenggu keluarga saya.
Kisah saya adalah bukti bahwa kemiskinan bukan akhir segalanya. Dengan tekad dan kerja keras, kita bisa mengubah nasib dan meraih masa depan yang lebih cerah. Saya pendamping PKH, alumni keluarga miskin, dan saya bangga dengan perjalanan saya.